Hukum sebagai Penjaga Integritas Jurnalisme dan Penopang Demokrasi

oleh -54 Dilihat
oleh

HUD HUD,

Oleh: Junaidi Ismail, SH
Wartawan Utama – Dewan Pers

DI ERA ketika informasi mengalir begitu cepat, profesi wartawan menghadapi tantangan yang kian kompleks. Bukan hanya karena derasnya kompetisi penyebaran berita, tetapi juga karena kaburnya batas antara informasi faktual dan opini yang dikemas seolah-olah sebagai kebenaran. Dalam situasi seperti ini, peran hukum menjadi sangat penting, bukan untuk membatasi ruang gerak jurnalis, tetapi justru untuk menjaga agar profesi ini tetap dapat menjalankan fungsinya dengan merdeka, aman, dan bertanggung jawab.

Seorang wartawan bekerja langsung di lapangan, bertemu berbagai kepentingan, dan terkadang berhadapan dengan pihak-pihak yang tidak menyukai hasil liputannya. Tidak jarang ancaman, intimidasi, hingga kekerasan menjadi risiko nyata. Dalam konteks inilah hukum hadir sebagai tameng yang melindungi wartawan.

Undang-Undang Pers, misalnya, memberikan jurnalis hak untuk mencari, memperoleh, serta menyebarkan informasi. Hak ini bukan sekadar tulisan dalam lembaran undang-undang, tetapi merupakan perisai agar wartawan dapat bekerja tanpa ketakutan. Jika tidak ada perlindungan hukum, maka suara kritis jurnalis dapat dengan mudah dibungkam, dan pada akhirnya publik kehilangan hak untuk mengetahui kebenaran.

Namun perlindungan saja tidak cukup. Kebebasan pers tidak boleh dipahami sebagai kebebasan absolut. Di sinilah hukum berperan sebagai kompas moral yang mengarahkan wartawan agar tidak keluar dari jalur etika profesi.
Setiap berita yang ditulis harus akurat, berimbang, tidak menyesatkan, dan tidak melanggar martabat manusia. Hukum membantu menjaga agar standar ini tetap dipegang.

Dengan adanya aturan, jurnalis tidak terjebak pada sensasi, tidak tergoda menabrak fakta demi klik, dan tidak menjadikan profesinya alat untuk menyerang pribadi atau kelompok tertentu.

Hukum bersama Kode Etik Jurnalistik menjadi kombinasi yang memastikan bahwa wartawan tetap bekerja dengan integritas. Karena pada dasarnya, kepercayaan publik hanya bisa diraih oleh media yang jujur dan bertanggung jawab.

Tidak dipungkiri bahwa profesi apa pun bisa saja melakukan kesalahan, termasuk wartawan. Dalam situasi seperti itu, hukum menyediakan mekanisme koreksi. Ini bukan untuk mematikan kebebasan pers, tetapi untuk menjaga supaya setiap penyimpangan dapat diluruskan.

Dengan adanya Dewan Pers sebagai lembaga independen, konflik antara publik dan pers dapat diselesaikan secara profesional tanpa harus langsung menggunakan jalur pidana. Sistem seperti ini dirancang agar kebebasan pers tetap terjaga, namun tetap ada ruang bagi publik untuk mendapatkan keadilan jika dirugikan.

Ketika hukum melindungi jurnalis, sesungguhnya yang dilindungi bukan hanya profesinya, melainkan juga demokrasi itu sendiri. Tanpa pers yang bebas dan bertanggung jawab, ruang publik akan dipenuhi kabar bohong, propaganda, dan informasi yang tidak bisa diverifikasi. Masyarakat akan sulit memantau jalannya pemerintahan, dan kontrol sosial menjadi lemah.
Pers adalah mata dan telinga publik. Dan hukum adalah pagar yang memastikan mata itu tetap jernih serta telinga itu tetap tajam.

Pada akhirnya, hukum bukan musuh pers, sebaliknya, ia adalah penopang utama. Ia memastikan bahwa wartawan dapat mencari kebenaran tanpa takut, tetapi juga mengingatkan agar setiap tindakan dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Kebebasan pers hanya akan bermakna jika berjalan beriringan dengan etika dan kepatuhan hukum.
Karena itu, memperkuat pemahaman hukum di kalangan jurnalis bukan sekadar kebutuhan teknis, tetapi merupakan bagian penting dari memperkuat kualitas demokrasi di Indonesia.

Pers hanya bisa merdeka jika wartawannya terlindungi. Dan wartawan hanya bisa terlindungi jika hukum ditegakkan dengan adil dan konsisten. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.