Penyitaan Perangkat dan Pemeriksaan Cara Kerja Roy Suryo cs: Bentuk Kepatuhan Polri pada Perintah Undang-Undang

oleh -29 Dilihat
oleh

HUD HUD NEWS.CO,,

Dalam negara hukum, setiap klaim yang disampaikan ke ruang publik dan menimbulkan konsekuensi hukum wajib dibuka dan diuji secara sah. Terlebih, ketika klaim tersebut disertai tuduhan serius yang berimplikasi pidana, maka mekanisme hukum acara pidana harus dijalankan sepenuhnya.

Ketika Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifa secara terbuka menyampaikan klaim telah melakukan “uji ilmiah” terhadap dokumen tertentu dan menyatakan bahwa ijazah Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, 99,9% palsu, maka sejak saat itu persoalan tersebut beralih dari ranah opini ke ranah pembuktian hukum.

Proses hukum kemudian berjalan: laporan disampaikan, kepolisian melakukan penyitaan terhadap dokumen yang dipersoalkan, uji forensik dilakukan, dan selanjutnya Polri menetapkan Roy Suryo cs sebagai tersangka. Sejak penetapan tersebut, hukum acara pidana berlaku secara penuh, dan penyidikan tidak lagi bersifat pilihan, melainkan kewajiban konstitusional aparat penegak hukum.

Penyitaan Adalah Perintah Undang-Undang

Pasal 38 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara tegas menyatakan bahwa penyitaan dilakukan oleh penyidik untuk kepentingan penyidikan. Ketentuan ini dipertegas oleh Pasal 39 KUHAP yang menyebutkan bahwa penyitaan dapat dilakukan terhadap:
1. benda atau alat yang digunakan atau diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana;
2. benda yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka sah, wajar, dan sesuai hukum apabila kepolisian melakukan penyitaan terhadap:
• dokumen-dokumen yang diklaim telah diuji;
• seluruh perangkat elektronik yang digunakan, termasuk komputer, laptop, telepon genggam, dan media penyimpanan;
• perangkat lunak atau aplikasi yang digunakan dalam proses analisis;
• serta data digital lainnya, termasuk yang tersimpan pada layanan penyimpanan berbasis awan (cloud).

Tanpa penyitaan, penyidikan justru berisiko tidak lengkap, tidak objektif, dan berpotensi cacat secara prosedural.

Yang Diperiksa Adalah Klaim dan Cara Kerja

Yang menjadi objek pemeriksaan hukum bukan keyakinan pribadi atau narasi, melainkan:
• klaim analisis yang disampaikan kepada publik;
• cara, pendekatan, atau metode kerja yang digunakan untuk sampai pada kesimpulan tersebut;
• alat, perangkat, dan perangkat lunak yang menjadi dasar analisis.

Dalam hukum acara pidana Indonesia, tidak ada satu pun klaim analisis yang kebal dari pemeriksaan hukum. Setiap klaim yang dipublikasikan dan berimplikasi pidana wajib dapat diuji ulang secara objektif, terbuka, dan sah.

Buku Tidak Otomatis Menjadi Bukti Primer

Apabila buku Jokowi’s White Piper diklaim atau diposisikan sebagai “bukti primer”, maka secara hukum buku tersebut bukan lagi semata karya tulis, melainkan bagian dari rangkaian alat bukti yang harus diuji.

Hal ini relevan karena dalam pernyataan publik, Rismon Sianipar menyebut telah mengirimkan buku tersebut kepada Presiden Prabowo Subianto dengan klaim bahwa membaca buku tersebut akan menimbulkan keyakinan tertentu atas tuduhan yang disampaikan.

Dalam konteks hukum acara pidana, buku tersebut patut diperiksa untuk menilai:
• sumber data yang digunakan;
• waktu dan proses penyusunannya;
• kesesuaian dan konsistensi isi buku dengan klaim yang disampaikan ke publik.

Hukum acara pidana Indonesia tidak mengenal konsep buku karangan sendiri sebagai bukti primer yang berdiri tanpa verifikasi.

Forensik Digital Mensyaratkan Penguasaan Alat Bukti yang Sah

Setiap pemeriksaan dokumen digital mensyaratkan rantai penguasaan alat bukti (chain of custody) yang sah. Dokumen yang bersumber dari media sosial, tangkapan layar, atau salinan yang tidak berada dalam penguasaan penyidik kehilangan nilai pembuktian forensiknya.

Oleh karena itu, penyitaan terhadap perangkat dan data asli bukan pilihan, melainkan syarat mutlak agar pembuktian memiliki validitas hukum.

Apabila Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifa meyakini kebenaran klaim yang mereka sampaikan, maka tidak terdapat alasan hukum untuk menolak penyitaan dan pemeriksaan secara terbuka. Sebaliknya, penolakan justru menimbulkan pertanyaan hukum yang serius.

Dalam negara hukum:

Yang diperiksa bukan keyakinan, bukan narasi, dan bukan opini, melainkan alat bukti, cara kerja, dan kebenaran yang dapat diverifikasi. Tanpa penyitaan dan pemeriksaan menyeluruh, klaim apa pun sekeras apa pun disuarakan tidak memiliki nilai pembuktian hukum. Melalui penyitaan, pemeriksaan forensik, dan pemeriksaan terhadap cara kerja yang digunakan, kepolisian berwenang menemukan fakta-fakta hukum yang harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Oleh: Rival Achmad Labbaika
Ketua Umum Aliansi Jurnalistik Online Indonesia (AJOI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.